1982 hingga 2024: Sejarah pertumpahan darah selama 42 tahun antara Israel dan Hizbullah


New Delhi:

Serangan udara Israel menewaskan sedikitnya 492 orang di Lebanon, termasuk 35 anak-anak, pada hari Senin. Itu adalah hari kekerasan paling mematikan sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober, yang kini menarik Hizbullah dan meningkatkan konflik tersebut ke tingkat terburuk dalam hampir satu tahun. Ribuan keluarga Lebanon terpaksa mengungsi dan perang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Konflik antara kelompok Lebanon yang didukung Iran dan Israel bukanlah hal baru. Kedua belah pihak memiliki sejarah berdarah selama lebih dari empat dekade.

Invasi Israel pada tahun 1982 dan kebangkitan Hizbullah

Akar kebangkitan Hizbullah dan konflik berdarahnya dengan Israel dimulai pada bulan Juni 1982, ketika Israel menginvasi Lebanon sebagai tanggapan atas serangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang beroperasi dari selatan. Pendudukan Israel mencapai jantung kota Beirut, mengepung PLO dan memaksa penarikan terakhirnya. Namun, kehadiran Israel yang terus berlanjut, bersama dengan kekejaman yang dilakukan oleh sekutu-sekutunya, terutama pembantaian Sabra dan Shatila yang menewaskan antara 2.000 hingga 3.500 pengungsi Palestina dan warga sipil Lebanon, menabur benih perlawanan.

Di antara kelompok yang dibentuk sebagai tanggapan adalah Hizbullah, yang awalnya dibentuk oleh para pemimpin Muslim Syiah dengan dukungan Iran. Mewakili populasi Syiah yang terpinggirkan, Hizbullah dengan cepat menjadi milisi yang kuat, merekrut sebagian besar pemuda yang tidak puas di pinggiran selatan Beirut dan Lembah Bekaa.

1983-1985: Pertumpahan darah dan perlawanan

Antara tahun 1982 dan 1986, Hizbullah atau kelompok yang terkait dengannya disalahkan atas beberapa serangan terhadap pasukan asing di Lebanon. Yang paling penting adalah pemboman barak militer Perancis dan Amerika di Beirut pada bulan Oktober 1983, yang menewaskan lebih dari 300 penjaga perdamaian. Meski diklaim oleh kelompok Jihad Islam, banyak yang yakin Hizbullah berada di balik serangan tersebut.

Pada tahun 1985, Hizbullah telah tumbuh cukup kuat untuk memaksa militer Israel menarik diri dari sebagian besar Lebanon selatan, meskipun Israel mempertahankan “zona keamanan” di sepanjang perbatasan, diawasi oleh Tentara Lebanon Selatan (SLA) yang didominasi Kristen.

1992-1996: Kepentingan politik Hizbullah meningkat

Setelah berakhirnya perang saudara Lebanon pada tahun 1992, Hizbullah menjadi pemain politik, memenangkan delapan kursi dari 128 kursi parlemen Lebanon. Selama bertahun-tahun, pengaruhnya semakin meningkat, baik secara politik maupun militer, terutama ketika ia memberikan layanan sosial yang luas di wilayah yang didominasi Syiah.

Pada saat yang sama, perlawanannya terhadap pasukan Israel terus berlanjut. Pada tahun 1993, Israel melancarkan “Operasi Akuntabilitas” sebagai pembalasan atas serangan Hizbullah di Israel utara, yang menyebabkan konflik singkat namun intens yang menewaskan 118 warga sipil Lebanon. Kekerasan meningkat lagi pada tahun 1996 selama “Operasi Anggur Kemarahan” ketika Israel mencoba menekan Hizbullah.

2000-2006: Penarikan Israel dan Perang Juli

Pada bulan Mei 2000, Israel secara sepihak menarik diri dari Lebanon selatan setelah hampir dua dekade mendudukinya, sebuah tindakan yang sebagian besar disebabkan oleh perlawanan Hizbullah. Kemenangan ini mengukuhkan status Hizbullah tidak hanya sebagai milisi, namun juga sebagai kekuatan politik yang kuat di Lebanon dan simbol perlawanan Arab terhadap Israel.

Pada tahun 2006, ketegangan meningkat ketika Hizbullah menangkap dua tentara Israel, yang menyebabkan Perang Juli. Konflik selama 34 hari tersebut mengakibatkan kerugian besar: 1.200 warga Lebanon dan 158 warga Israel.

2009-2024: Konflik regional

Pada tahun 2009, Hizbullah bukan lagi sekedar milisi atau gerakan perlawanan, namun telah menjadi kekuatan militer dan politik yang dominan di Lebanon. Kekuatan ini ditunjukkan lebih lanjut selama Perang Saudara Suriah. Mulai tahun 2012, Hizbullah melakukan intervensi atas nama rezim Assad, sebuah langkah yang membuat mereka kehilangan dukungan dari negara-negara Arab, namun memperkuat aliansi mereka dengan Iran dan meningkatkan pengalaman mereka di medan perang.

Perang di Jalur Gaza pada tahun 2023 kembali menyeret Hizbullah ke dalam konfrontasi langsung dengan Israel. Ketika Hamas melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel pada Oktober 2023, Hizbullah meningkatkan konflik, melancarkan serangan roket dari Lebanon dan menderita akibat serangan balasan.



Sumber