Mengapa Afrika Selatan harus mengadopsi rezim visa timbal balik untuk Namibia

Secara tiba-tiba terjadi awal tahun ini di Namibia diputuskan memperkenalkan persyaratan visa untuk 31 negara, dengan alasan kurangnya timbal balik. Pada bulan Juni, pemerintah mengumumkan bahwa rezim visa baru akan mulai berlaku pada tanggal 1 April 2025. Daftar tersebut mencakup 23 negara Eropa, enam negara Asia, serta Amerika Serikat dan Kanada.

Karena pariwisata adalah sektor utama, para pengkritik kebijakan tersebut mengatakan bahwa kebijakan tersebut dapat menghambat wisatawan dan menghambat perekonomian Namibia. Eben de Klerk dari Asosiasi Riset Kebijakan Ekonomi yang berbasis di Namibia mengecam: “Tidak akan ada kemenangan. Kami baru saja menembak diri kami sendiri.”

Namun ada pihak lain yang juga mendukung langkah tersebut dan melihatnya sebagai peluang untuk mendapatkan aliran pendapatan lain bagi kas negara dan memberikan tekanan diplomatik pada negara lain untuk menghapuskan visa bagi warga Namibia.

Tindakan Namibia juga memicu perdebatan di negara-negara Afrika lainnya, di mana warganya semakin frustrasi dengan daftar persyaratan visa yang panjang dan tidak masuk akal, antrean yang melelahkan di kedutaan, dan keseluruhan proses permohonan visa yang dipermalukan.

Masyarakat Afrika Selatan juga bertanya-tanya apakah mereka harus mengikuti jejak negara tetangga mereka di Namibia. Menurut saya, penerapan visa timbal balik kepada orang asing akan bermanfaat bagi negara kita.

Afrika Selatan merupakan tujuan wisata Afrika terpopuler ketiga setelah Mesir dan Maroko. Pada tahun 2022, pariwisata menyumbang sekitar $14 miliar, atau 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB), kepada negara dan mempekerjakan 2,5 juta orang. Pada tahun 2023, negara ini menerima 8 juta pengunjung asing dan diperkirakan akan segera mencapai tingkat 10 juta sebelum pandemi.

Pariwisata tidak diragukan lagi merupakan sektor yang cukup penting bagi Afrika Selatan dan beberapa pihak mungkin khawatir bahwa penerapan visa timbal balik akan berdampak buruk bagi negara tersebut. Namun, validitas argumen ini perlu diperiksa.

Meskipun penerapan pembatasan masuk dengan memaksa orang asing untuk mengajukan visa dapat berdampak signifikan terhadap jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu negara, terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa dampak ini bergantung pada jenis visa.

Menurut sebuah studi tentang dampak visa terhadap arus wisatawan, penerapan “kebijakan visa yang lebih fleksibel seperti e-visa (biru), eTA, atau visa pada saat kedatangan” “tidak berdampak signifikan terhadap arus wisatawan internasional”.

Dengan kata lain, penting bagaimana suatu negara menerapkan pembatasan visa. Visa tradisional yang mengharuskan calon pengunjung mengumpulkan dokumen yang tak terhitung jumlahnya, melakukan perjalanan ke kedutaan atau konsulat, mengisi formulir aplikasi, antrean panjang, dan membayar biaya selangit membuat wisatawan enggan. Visa kedatangan dan e-visa yang hanya memerlukan aplikasi online dan lebih murah, tidak serta merta menghalangi orang asing.

Meskipun beberapa jenis visa mungkin tidak berdampak pada pariwisata, ada banyak uang yang bisa dihasilkan dengan memperkenalkan visa tersebut. Biaya yang dibayarkan wisatawan untuk mendapatkan visa dapat meningkatkan pendapatan signifikan bagi administrasi publik. Misalnya, dalam empat tahun pertama setelah peluncuran program e-visa pada tahun 2014, pemerintah India memperoleh hampir $210 juta dengan membebankan biaya yang berkisar antara $25 hingga $75 per visa. Biaya tersebut didasarkan pada kewarganegaraan pemohon, dengan memperhatikan prinsip timbal balik visa.

Pengenalan e-visa berdasarkan prinsip timbal balik juga dapat membantu mengurangi beban birokrasi yang ditanggung negara dalam memproses permohonan masuk. Pada bulan Juli, Menteri Dalam Negeri Afrika Selatan yang baru, Leon Schreiber, memutuskan untuk memperpanjang konsesi visa sementara karena banyaknya permohonan visa. Tidak diragukan lagi, ini adalah sistem yang memerlukan rekonstruksi menyeluruh. Salah satu solusinya adalah dengan memperkenalkan sistem elektronik untuk memproses tidak hanya visa turis, tetapi juga jenis visa lainnya.

Selain menghargai manfaat finansial dan birokrasi yang dapat diperoleh dari penerapan sistem visa timbal balik, ada juga argumen moral yang dapat mendukung hal ini. Rezim visa di seluruh dunia sangat berpihak pada warga negara-negara kaya, khususnya warga negara Barat. Keadaan ini mencerminkan pengaruh Barat terhadap negara-negara berkembang.

Salah satu cara untuk mengatasi ketimpangan kekuasaan di kancah internasional adalah dengan menekankan prinsip timbal balik. Bagi negara seperti Afrika Selatan, penerapan visa timbal balik dapat berfungsi sebagai alat untuk menegaskan kedaulatannya dan menunjukkan tekadnya untuk melawan tekanan asing. Ini adalah cara untuk mengkonsolidasikan tempatnya di kancah internasional.

Sebagai warga Afrika Selatan, kita punya pilihan: terus membiarkan kebijakan kita dibentuk oleh pihak lain, atau mengambil kendali dan menuntut keadilan dan saling menghormati dalam diplomasi global.

Keputusan untuk memperkenalkan visa timbal balik mungkin dipandang oleh sebagian orang sebagai langkah yang berani, namun pada kenyataannya ini merupakan langkah penting untuk mencapai rasa hormat dan pengakuan yang layak diterima oleh Afrika Selatan. Sudah waktunya untuk menempatkan kedaulatan di atas kenyamanan dan memastikan bahwa negara kita diperlakukan dengan rasa hormat yang sama seperti negara lain.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan posisi editorial Al Jazeera.

Sumber